1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

“Curhat-an” Ibu Kita Kartini

17 April 2017

'Habis Gelap Terbitlah Terang' dianggap menginspirasi perempuan Indonesia untuk mau mencapai kesetaraannya di kemudian hari nanti. Buku itu lahir dari curhatan hati Kartini dalam surat-suratnya. Ulasan Andibachtiar Yusuf

https://p.dw.com/p/2bLcN
Indonesien ragment eines Briefes von Kartini an Rosa Abendanon
Foto: Public Domain

Keinginan Kartini adalah hasrat besar siapapun yang di era modern ini sudah melek internet, keinginan untuk sejajar dengan orang/bangsa lain yang dianggap maju, cita-cita melihat belahan dunia lain dan kemauan untuk lebih maju dari hari ini. Namun Kartini adalah wanita Jawa, dia tidak berasal dari etnis Minang yang kaum perempuannya memang lebih dominan dari para lelaki, atau etnis Bali yang para perempuannya memang bekerja ketimbang para lelakinya. Maka dinikahilah Kartini yang masih muda oleh seorang ningrat lainnya yang sudah gendut tapi berkuasa atas prakarsa orang tuanya. dan pupuslah keinginannya untuk melihat dunia lain seperti apa yang ia cita-citakan.

Kartini adalah seorang Raden Ajeng, ia bukan Suminah, Sukerti atau Juminten yang hanya bisa diam tepekur saat dipaksa kawin oleh orang tuanya dan berhenti pada melayani suami terhormat. Lewat aksesnya ia kemudian berkorespondensi dengan sahabatnya di Belanda (tentu saja dengan bahasa Belanda yang fasih) yang dilakukan sangat rutin. Aksesnya pada media yang besar membuat isi surat-suratnya menjadi cukup berisi dan cerdas. Ia bahkan tahu ada seorang anak muda bernama Agus Salim yang cerdas di Sumatra Berat, Urang Awak yang mampu berkomunikasi dengan bahasa Belanda, Jerman, Inggris, Perancis dan tentu saja Minang bahkan di saat ia masih menjelang lulus SMA.

Isi surat sang Raden Ajeng memang beragam, mulai dari kegelisahannya pada dirinya sendiri, pada gender perempuan sampai ke tingginya pajak pemerintah Belanda di tanah Jawa. Hingga di kemudian hari sang Diajeng ini harus rela dimadu oleh kangmas-nya yang memiliki kekuasaan cukup untuk beristri lebih dari satu sesuai kebiasaan saat itu. Kartinipun terhenyak dan tersadar bahwa ia memang cuma orang Jawa biasa yang pada akhirnya hanya bertugas mengangkang pada sang suami yang bisa semena-menang menikah kembali seperti kolektor mobil yang bebas menunggangi mobil apapun yang ia mau.

Kartini yang mungkin tidak tahu bahwa di luar keratonnya penderitaan yang sama juga terjadi , kemudian semakin kuat berkirim surat menceritakan kepedihannya sebagai perempuan yang menjadi istri ketiga dan lalu kembali dipoligami --  lewat surat-surat pada sang sahabat tersebut. Sang Diajeng yang menderita secara bathin dan hanya bisa melampiaskan segalanya lewat surat ini akhirnya meninggal di usia 25 tahun saat melahirkan dalam keadaan tertekan yang sangat tinggi.

Bukan hanya Kartini

Selayaknya bangsa Eropa, surat-surat mbak Kartini ini tersimpan rapi dan cukup eksotis untuk dikoleksi. Isinya yang sangat personal menggugah Menteri Kebudayaan dan Industri Belanda, Meneer JH Abendanon- lah yang kemudian menerjemahkan surat-surat curhat tersebut dalam bahasa Belanda dan menerbitkannya menjadi buku. Sebuah buku yang ratusan tahun kemudian diterjemahkan sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang ini dianggap menginspirasi perempuan Indonesia untuk mau mencapai kesetaraannya di kemudian hari nanti.

Sebuah curhat yang sangat efektif dan membawa perubahan besar pada statusnya sebagai warga kraton yang terhormat di tanah Jawa menjadi seorang pahlawan di negeri yang tidak hanya berisi etnis Jawa. Surat-surat yang juga membawa hari lahirnya menjadi sebuah hari nasional yang disebut-sebut oleh segenap warga negara Indonesia sebagai hari kebangkitan perempuan  hanya karena aksesnya pada negeri Belanda yang besar.

Perempuan berhati singa di Nusantara bukan hanya Kartini, masih banyak nama-nama lain yang juga layak disebut, mulai dari Tjoet Nyak Dhien yang pemberang, Dewi Sartika yang tenang atau Christina Tiahahu yang berwibawa, tapi nama mereka tidak diabadikan oleh negeri in jadi nama hari nasional. Seperti juga nasib Aru Palaka raja besar Bone yang "harus rela" dianggap pengkhianat oleh buku sejarah Indonesia hanya karena ia melakukan apapun untuk menaklukkan sang agresor Gowa di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin.

Selamat Hari Kartini!

Penulis:

Andibachtiar Yusuf

Filmmaker & Traveller

@andibachtiar

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.