1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

WHO: 1 dari 6 Pelajar Terdampak Perundungan Siber

Zulfikar Abbany
28 Maret 2024

Dalam sebuah survei WHO yang dilakukan di Eropa, Asia, dan Kanada, terungkap bahwa perundungan siber menjadi masalah besar di kalangan anak-anak usia sekolah. Angkanya dilaporkan meningkat sejak 2018.

https://p.dw.com/p/4eCll
Foto simbolik perundungan siber
Diintimidasi di dunia maya: 15% remaja mengalami perundungan siber, menurut studi WHOFoto: Antonio Guillen Fernández/PantherMedia/IMAGO

Baik secara fisik maupun psikologis, perundungan dan bentuk tindakan kekerasan sesama teman sebaya di kalangan anak-anak usia sekolah, ternyata bukan hal yang baru. Faktanya, tren itu secara keseluruhan stabil.

Namun, sebuah studi di 44 negara Eropa, Asia Tengah, dan Amerika Utara telah mengindikasikan adanya peningkatan perundungan di dunia maya atau siber, sejak 2018.

Studi bertajuk "Perilaku Sehat pada Anak Usia Sekolah" (HBSC) itu diterbitkan pada Rabu (27/03) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Studi tersebut mengidentifikasi adanya "peningkatan interaksi secara digital pada anak muda" sebagai penyebab utama "cyberbullying” atau perundungan siber.

Direktur Regional WHO untuk Eropa, Hans Kluge, mengatakan laporan ini adalah sebuah "peringatan."

"Dengan anak muda yang menghabiskan waktu hingga enam jam daring setiap hari, perubahan sekecil apa pun dalam angka perundungan dan kekerasan, bahkan bisa berdampak besar bagi kesehatan dan kesejahteraan ribuan orang," kata Kluge dalam sebuah rilis media pada Rabu (27/03). Kluge menyoroti kasus tindakan melukai diri sendiri dan bunuh diri sebagai konsekuensi yang mungkin terjadi.

Temuan-temuan utama dari studi WHO

Para peneliti yang terlibat dalam sttudi tersebut meminta para responden, yakni para remaja berusia 11, 13 dan 15 tahun, untuk melaporkan perilaku dan pengalaman mereka seputar perundungan.

Rata-rata, lebih banyak anak laki-laki dibanding anak perempuan, yang mengaku telah melakukan tindakan kekerasan terhadap teman sebaya, dengan jumlah perundungan setidaknya 2-3 kali per bulan dalam "beberapa bulan terakhir" (sebelum waktu survei).

Secara keseluruhan, "prevalensi perundungan siber" tertinggi ada pada usia 13 tahun, sementara "secara signifikan jauh lebih tinggi" pada anak laki-laki di semua kategori usia, tulis para peneliti studi tersebut.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Di antara responden anak laki-laki, para peneliti mencatat bahwa mereka yang berusia 15 tahun di Lithuania, menjadi yang paling tinggi memiliki kecenderungan untuk melakukan perundungan siber terhadap orang lain. Sedangkan di antara anak perempuan, mereka yang berusia 13 tahun di Rumania adalah yang paling mungkin terlibat dalam perilaku tersebut.

Dari sisi korban, sekitar satu dari 10 anak laki-laki dan perempuan melaporkan bahwa mereka mendapat intimidasi di sekolah setidaknya dua atau tiga kali sebulan dalam beberapa bulan terakhir.

"Secara keseluruhan, 15% remaja melaporkan telah diintimidasi di dunia maya, setidaknya satu atau dua kali dalam beberapa bulan terakhir (15% anak laki-laki dan 16% anak perempuan)," tulis studi tersebut.

Satu dari 10 remaja itu juga melaporkan telah terlibat dalam perkelahian secara fisik setidaknya tiga kali dalam 12 bulan terakhir (14% anak laki-laki dan 6% anak perempuan).

Dokumen Meta: Setiap Harinya 100.000 Anak Alami Pelecehan Seksual

Perundungan di dunia maya masalah gender?

Para peneliti menemukan fakta bahwa anak laki-laki menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi terhadap tindakan agresi dan keterlibatan dalam perkelahian fisik, dibanding anak perempuan.

Sementara dalam perundungan siber, baik anak laki-laki maupun perempuan menunjukkan prevalensi yang sama. Namun, para peneliti menemukan fakta bahwa "cyberbullying” justru sedang meningkat di kalangan anak perempuan berusia 11 dan 13 tahun.

Dalam survei tersebut, para peneliti bertanya kepada para responden apakah mereka pernah (atau ikut serta) dalam mengirimkan "pesan instan kasar, mengirim email, mengunggah atau membagikan foto atau video secara daring tanpa izin."

Meski perundungan secara "tradisional" merupakan bentuk tindakan kekerasan terhadap teman sebaya secara "langsung", "bentuk-bentuk kekerasan sesama teman sebaya secara virtual menjadi sangat relevan sejak dimulainya [...] pandemi COVID-19, saat dunia anak muda menjadi semakin virtual selama masa karantina itu,' kata studi tersebut.

Jika Rasa Haus Validasi di Media Sosial Jadi Obsesi

Pentingnya kerja sama untuk tekan perundungan

Para peneliti mengatakan bahwa pihaknya berharap temuan studi kali ini dapat meningkatkan pemahaman tentang perundungan pada remaja dan tindakan kekerasan sesama teman sebaya di seluruh Eropa, Asia Tengah, dan Kanada, serta memungkinkan para ahli untuk "menargetkan intervensi secara lebih efektif."

Intervensi yang dimaksud mencakup "strategi yang peka terhadap gender" untuk mengatasi dan mengurangi masalah perundungan, sekaligus program-program yang mempromosikan literasi digital, empati, dan resolusi konflik yang lebih sehat.

Dalam sebuah email kepada DW, Joseph Hancock dari HBSC menulis bahwa, "keberhasilan membutuhkan kolaborasi yang berkelanjutan antarsemua pemangku kepentingan. Kami mendorong individu, keluarga, sekolah, komunitas, dan pemerintah untuk bekerja sama demi memastikan semua remaja memiliki lingkungan yang aman dan mendukung untuk berkembang."

Penelitian tersebut mencakup lebih banyak aspek perundungan daripada yang dapat kami bahas dalam artikel ini. Jika Anda ingin membaca laporan lengkapnya, kami turut menyertakan tautan di bawah ini.

(kp/gtp)

Sumber utama:

A focus on adolescent peer violence and bullying in Europe, central Asia and Canada. Health Behaviour in School-aged Children international report from the 2021/2022 survey. Volume 2. WHO/Europe, March 27, 2024: https://www.who.int/europe/publications/i/item/9789289060929