1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Perjuangan Kartini Melintas Batas Identitas

Indonesien Misiyah, Frauenaktivistin
Misiyah
19 April 2024

Raden Ajeng Kartini adalah satu perempuan pahlawan nasional yang kita kenal sebagai pejuang kesetaraan perempuan di masa penjajahan Belanda. Perjuangannya di masa lalu masih relevan di berbagai persoalan moden ini.

https://p.dw.com/p/4euSr
Raden Adjeng Kartini
Gambar Ibu KartiniFoto: Fine Art Images/Heritage Images/picture alliance

Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara.  Tanggal kelahirannya tersebut kini diperingati sebagai Hari Kartini, sesuai namanya. Sebagai anggota keluarga ningrat, Kartini senantiasa mendekatkan diri dengan pribumi di tanah Jawa atau Hindia Belanda, sebutan bagi sebuah wilayah sebelum ada negara Indonesia saat itu.

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, Kartini identik dengan pejuang pendidikan karena perempuan itu mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan pribumi untuk pertama kalinya di tanah Jawa.

Semakin didalami sejarahnya, semakin banyak ditemukan sisi-sisi yang menjadi keprihatinan dan pikiran-pikiran bernasnya dan tindakannya yang melampaui zaman, melampaui usia dan melampaui batas-batas kewilayahan negeri terjajah.

Dalam buku yang ditulis oleh Pramodya Ananta Toer yang judulnya "Panggil Aku Kartini Saja” (2003), Kartini sebagai keturunan ningrat anak bupati Jepara, Raden Mas Adipati Sosroningrat harus hidup berjarak dan terpisah dengan rakyat jelata. Namun ia berusaha melepas batas identitas kelas ini dengan cara mencintai, menghargai, memikirkan kesulitan, menghayati kemelaratan dan penderitaan rakyatnya.

@Misiyah, Direktur Institut KAPAL Perempuan 2016-2019 dan Steering Committee "Gender Watch”  MAMPU dan SDGs. Ia menekuni isu-isu feminisme selama 20 tahun terakhir dan aktif dalam gerakan perempuan, mengembangkan pemberdayaan perempuan, kepemimpinan perempuan untuk gerakan kesetaraan gender dan perdamaian. Saat ini menjadi direktur Institut KAPAL Perempuan, sebuah organisasi yang fokus pengembangan pendidikan kritis dengan perspektif feminisme dan pluralisme.
Penulis: MisiyahFoto: Privat

Meski Kartini ada dalam kungkungan tradisi feodal yang keras dan tidak memungkinkan dapat bergaul dengan rakyat jelata, pada suatu ketika Kartini masih sanggup menemukan seorang bocah umur enam tahun yang sedang berjualan rumput. Bocah ini diikuti hingga sampai rumahnya dan Kartini menemukan dua adik si bocah yang dia urus sendiri, karena emaknya pergi bekerja. Mereka belum makan dan hanya makan nasi sehari satu kali, ketika emaknya pulang mendapatkan upah.

Kartini melihat di luar dirinya begitu banyak derita dan kemelaratan yang dialami rakyat. Ia menuliskan "seakan udara menggetar oleh ratap tangis, erang dan rintih orang-orang sekelilingku. Dan lebih keras lagi daripada erang dan rintih itu, mendesing dan menderu di  kupingku: Kerja! Kerja! Kerja! Perjuangkan kebebasanmu! Baru kemudian kalau kau telah bebaskan dirimu sendiri dengan kerja, dapatlah kau menolong yang lain! Kerja! Kerja! Aku dengar begitu jelas, nampak tertulis di depan mataku…”

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Isu-isu gender yang masih menjadi pekerjaan panjang hingga kini

Di penghujung abad XIX Kartini sudah mengobarkan api perlawanan, sebuah perjuangan luar biasa dilakukan oleh perempuan pada zamannya. Kartini perempuan muda pemberani meski ada dalam lingkaran kuasa tradisi feodal yang membelenggu perempuan, ia tetap melawan pingitan, perkawinan anak, perdagangan perempuan dan anak, poligami, dan pembatasan terhadap ruang gerak perempuan di segala lini kehidupan.

Di antara peliknya situasi perempuan, ia juga memikirkan kesejahteraan rakyat bumiputera, kesehatan maupun pendidikan. Ia tak pernah menyerah untuk  mengajarkan cara berfikir kritis terhadap ketidakadilan oleh siapapun dan alasan apapun.

Kartini memperjuangkan pemikirannya dengan penuh tantangan dan rintangan, tanpa iklim yang mendukung kebebasan berekspresi maupun keterbukaan politik seperti sekarang.

Jika di masa sekarang komunikasi lintas negara dapat dilakukan dalam hitungan menit saja, saat itu Kartini membutuhkan  waktu berbulan-bulan untuk berkorespondesi dalam memperbincangkan cara memajukan bangsanya dengan sahabat-sahabatnya di Eropa.

Kartini harus menerabas tradisi dan perizinan ketat jika ingin dilibatkan dalam pertemuan publik, jauh berbeda perempuan sekarang dapat melakukannya kapan saja. Kartini berjuang dalam situasi tekanan politik penjajahan yang mengeksploitasi, membodohkan dan memiskinkan rakyat bumiputra.

Dalam kehidupan kita sekarang yang melimpah fasilitas, kesempatan, dan dukungan, apakah kita katakan akan berdiam diri terhadap budaya patriarki, dan isu-isu kesetaraan gender yang tercermin dalam kemiskinan, kesehatan, pendidikan, ekonomi, perdagangan perempuan dan perbudakan modern?

Tidak ada alasan apapun buat kita yang berada di negeri yang merdeka ini untuk berdiam diri. Lebih seabad yang lalu, Kartini sudah memberikan perhatiannya pada isu kesehatan perempuan terutama kematian ibu melahirkan, yang sayangnya hingga kini masih tinggi di Indonesia. Upayanya untuk masuk pendidikan kedokteran meski kandas,  merupakan sebuah tekad dalam mencari jalan keluar dari gentingnya masalah kematian ibu melahirkan dan juga bayi baru lahir meninggal setiap tahunnya di tanah Jawa.

Meretas sekat agama

Sebagai gadis muslim, ia berusaha menghayati ajaran dengan cara meminta kepada gurunya menterjemahkan kitab suci Alquran yang hanya berbahasa Arab saat itu ke dalam bahasa Jawa. Penghayatannya terhadap praktik beragama Islam adalah untuk berbuat kebaikan tanpa kebencian terhadap pemeluk kepercayaan dan agama yang berbeda.

Ia juga melakukan penerimaan dan penghormatan pada setiap perbedaan. Pada dirinya sendiri ia tidak menolak ketika mendapat sebutan sebagai anak Buddha. Ia juga menerima Pandita Ramabai, seorang tokoh Protestan dari India menjadi pahlawan bagi jiwanya sendiri.

Ia mengajarkan hidup yang sarat dengan penghormatan, mengutamakan nilai kemanusiaan dan menepis fanatisme terhadap identitas keagamaan. Bahkan ia mengkritisi pihak yang mengatasnamakan agama dan menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan.

Dalam suratnya 6 November 1899 kepada Nona Estella H. Zeehandelaar itu, secara keras ia melawan poligami. Ia tidak akan dapat menghormati seseorang yang sudah kawin dan sudah menjadi bapak, yang apabila sudah bosan kepada ibu anak-anaknya, kemudian membawa perempuan lain ke dalam rumahnya dan mengawininya secara sah sesuai dengan hukum Islam. 

Kartini tidak akan menerima ajaran yang mengizinkan laki-laki melakukan poligami karena poligami menyebabkan manusia lain menderita. Dan apapun yang menyebabkan penderitaan bagi manusia lain adalah dosa. Ia menentang dan mempertanyakan, dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang perempuan jika suaminya pulang dengan wanita lain sebagai saingannya yang harus diakuinya sebagai istrinya yang sah? Dan semua itu menguntungkan laki-lakin dan tak ada sesuatu pun untuk kaum perempuan.

Kartini juga bicara tentang bahaya fanatisme dalam beragama, karena dapat menyebabkan orang saudara kandung saling berlawanan hanya karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Pasangan yang saling mengasihi akhirnya bercerai-berai akibat berlainan tempat menyembah Tuhan. Pembunuhan pun juga dapat terjadi dengan mengatasnamakan agama. Dalam kebimbangan, ia mempertanyakan benarkah agama itu restu bagi manusia. "Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu!”

Inspirasi Pergerakan

Pada zaman diberlakukannya pingitan terhadap anak perempuan sejak usia 12 tahun untuk menunggu perjodohan,  Kartini bertahan hingga usia 23 tahun untuk tidak menikah. Sebuah ketidaklaziman di masa itu terlebih bagi Kartini yang lahir sebagai keluarga ningrat.

Namun di luar kuasanya,  ia harus masuk dalam tradisi dan dinikahkan dengan Bupati Rembang Djoyoadiningrat pada tahun 1903. Setahun kemudian pada 13 September 1904 Kartini melahirkan RM Soesalit dan belum seminggu setelah melahirkan, tepatnya 17 September 1904 adalah akhir dari hidupnya.

Empat tahun sebelumnya Kartini menuliskan surat yang berat sekaligus penting untuk perjuangan perempuan. Ia mengatakan bahwa ”jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak dan lubang; jalan itu berbatu-batu, terjal, licin....belum dirintis! Dan walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Sebab jalan tersebut sudah terbuka dan saya turun membantu menerabas jalan yang menuju kebebasan dan kemerdekaan perempuan bumiputra”.

Dalam sebuah tulisan, dinyatakan bahwa perjuangan Kartini menginspirasi gerakan perempuan dan lebih jauh menginspirasi dokter Tjipto Mangoenkoesoemo yang memiliki keprihatinan terhadap kesehatan rakyat bumiputra yang terjajah. Para siswa STOVIA menghidupkan pikiran-pikiran Kartini dengan cara mendirikan Raden Adjeng Kartini Club oleh Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang pelopor gerakan anti kolonialisme yang radikal.

Sudah lebih seabad Kartini meninggal dunia, namun jiwa juangnya tetap membara dan menjadi tanggung jawab kita untuk melanjutkannya. Tanggung jawab bersama untuk memerdekakan perempuan dari belenggu patriarki dan memperjuangkan keadilan dan kesetaraan perempuan dengan ragam identitasnya di semua sektor sosial budaya, ekonomi dan politik.

 

@Misiyah, Direktur Institut KAPAL Perempuan 2016-2019 dan Steering Committee "Gender Watch”  MAMPU dan SDGs. Ia menekuni isu-isu feminisme selama 20 tahun terakhir dan aktif dalam gerakan perempuan, mengembangkan pemberdayaan perempuan, kepemimpinan perempuan untuk gerakan kesetaraan gender dan perdamaian. Saat ini menjadi direktur Institut KAPAL Perempuan, sebuah organisasi yang fokus pengembangan pendidikan kritis dengan perspektif feminisme dan pluralisme.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.